Dampak Gonta-Ganti Kurikulum Menggerogoti Dunia Pendidikan
Perubahan adalah bagian dari dinamika
pendidikan, namun ketika perubahan terjadi terlalu sering dan tanpa kesiapan
yang matang, dampaknya justru bisa menggerogoti fondasi pendidikan itu sendiri.
Salah satu bentuk perubahan yang sering terjadi di Indonesia adalah gonta-ganti
kurikulum. Alih-alih membawa perbaikan signifikan, perubahan kurikulum yang
terlalu cepat dan sering justru menimbulkan sejumlah persoalan serius di
lapangan, terutama bagi guru dan sekolah.
1. Guru Harus Bolak-Balik Ikut Diklat,
Meninggalkan Siswa
Setiap kali kurikulum baru diterapkan,
guru diwajibkan mengikuti pelatihan atau diklat (pendidikan dan pelatihan) agar
dapat memahami dan mengimplementasikannya dengan tepat. Namun, frekuensi
perubahan kurikulum yang tinggi memaksa guru untuk bolak-balik mengikuti
diklat. Hal ini tidak hanya menguras energi dan waktu, tetapi juga berdampak
langsung pada proses pembelajaran karena guru harus meninggalkan siswa untuk
waktu tertentu. Dalam banyak kasus, kegiatan belajar mengajar menjadi terganggu
karena keterbatasan pengganti yang setara.
2. Biaya Membengkak untuk Ikut Diklat
Diklat bukan hanya menyita waktu, tetapi
juga membutuhkan biaya. Banyak guru harus mengeluarkan dana pribadi untuk
mengikuti pelatihan, terutama jika tidak sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah.
Sekolah pun terpaksa mengalokasikan anggaran lebih besar untuk memfasilitasi
diklat, padahal dana tersebut bisa digunakan untuk kebutuhan yang lebih
mendesak seperti pengadaan alat peraga atau perbaikan sarana belajar. Ketika
anggaran terserap habis untuk menyesuaikan diri dengan kurikulum baru, kualitas
pembelajaran justru bisa menurun.
3. Maraknya Perangkat Ajar Komersial
yang Tidak Terstandar
Perubahan kurikulum yang mendadak sering
kali tidak diikuti dengan kesiapan perangkat ajar yang memadai dari pemerintah.
Akibatnya, banyak pihak swasta berlomba-lomba menjual perangkat ajar seperti
modul, RPP, dan bahan ajar lainnya. Sayangnya, tidak semua perangkat ini
disusun oleh ahli atau mengikuti standar yang benar. Guru yang diburu waktu dan
tekanan administratif terpaksa membeli perangkat-perangkat tersebut tanpa
sempat mengevaluasi isinya. Hal ini membuka celah bagi beredarnya materi ajar
yang tidak sesuai dengan kompetensi inti dan tujuan pembelajaran.
4. Guru Disibukkan dengan Administrasi
Perubahan kurikulum juga membawa beban
administratif yang berat bagi guru. Mereka harus menyusun ulang perencanaan
pembelajaran, mengisi dokumen administrasi baru, dan menyesuaikan seluruh
instrumen penilaian. Kondisi ini menjadikan guru lebih sibuk dengan pekerjaan
administratif ketimbang fokus pada interaksi dengan siswa dan peningkatan
kualitas pengajaran. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menurunkan semangat
mengajar dan merusak esensi profesi guru sebagai pendidik.
5. Harus Ganti Buku, Buku Lama
Terbengkalai
Setiap kali kurikulum berganti, maka
materi dan pendekatan pembelajaran juga berubah. Konsekuensinya, buku-buku
pelajaran harus diganti. Buku lama menjadi tidak relevan dan akhirnya
terbengkalai, meski dalam kondisi masih layak pakai. Pengadaan buku baru tentu
membutuhkan biaya besar, baik dari pemerintah maupun orang tua siswa. Selain
itu, distribusi buku baru yang tidak merata membuat ketimpangan antar daerah
semakin terasa.
Penutup
Gonta-ganti kurikulum tanpa perencanaan
yang matang justru berpotensi menciptakan kegaduhan dalam dunia pendidikan.
Para guru menjadi korban utama dari kebijakan yang tidak konsisten, dan siswa
pun turut terdampak akibat ketidaksiapan sistem dalam mengakomodasi perubahan.
Oleh karena itu, sangat penting bagi para pemangku kebijakan untuk
mengedepankan stabilitas, konsistensi, dan kesiapan dalam setiap perubahan
kurikulum. Pendidikan adalah investasi jangka panjang, bukan arena eksperimen
yang terus berubah tanpa arah yang jelas.
Guru sejati, adalah guru yang adaptif, apapun bentuk kurikulumnya... Mendidik dengan hati, menjadi guru yang senantiasa dirindukan oleh murid-muridnya. Semangat untuk memajukan pendidikan di Indonesia
BalasHapusMantab sekali bu
Hapus